Beranda | Artikel
Ada Apa Dengan Syaikh Ali Al-Halabi dan Syaikh Kholid Al-Anbari -Hafidzahumallahu-???
Kamis, 12 Juli 2007

ADA APA DENGAN SYAIKH ALI AL-HALABI DAN SYAIKH KHOLID AL-ANBARI –HAFIDZAHUMALLAHU-???

Oleh
Ustadz Abdurrahman Thoyyib As-Salafy

Diantara sekian banyak para masyayikh dakwah Salafiyah yang tidak selamat dari tuduhan Murji’ah yang dilontarkan oleh para harokiyin, sururiyin dan takfiriyin adalah Syaikh Ali bin Hasan Al-Halabi Al-Atsari dan Syaikh Kholid bin Ali bin Muhammad Al-Anbari –hafidzhumallahu-. Dan yang amat disayangkan adalah adanya fatwa Lanjah Daimah yang juga ikut serta mendukung orang-orang tersebut dengan menuduh bahwa di dalam beberapa kitab kedua syaikh tersebut terdapat pemikiran Murji’ah. Padahal kalau ditilik kembali kitab-kitab mereka tersebut sangat jauh dari pemikiran Murji’ah. Mereka adalah masyayaikh Ahlu Sunnah yang jauh dari pemikiran Murji’ah, aqidah mereka aqidah Salaf Ashabul Hadits khususnya yang berkaitan dengan masalah iman. Oleh karenanya Syaikh Ali bin Hasan dan Syaikh Kholid menulis jawaban akan fatwa Lajnah Daimah tersebut. Mereka berdua meminta kepada Lajnah Daimah untuk membuktikan dengan jelas mana pemikiran Murji’ah yang terdapat dalam kitab mereka.

Adapun Syaikh Ali bin Hasan Al-Halabi –hafidzahullahu-, maka dalam menanggapi fatwa Lajnah Daimah serta tuduhan Murji’ah ini beliau banyak menulis kitab yang menjelaskan kepada siapa saja yang hatinya masih bersih akan jauhnya beliau dari aqidah Murji’ah. Maka barangsiapa yang telah teracuni oleh syubhat bahwa Syaikh Ali Murji’ah atau sebagian buku beliau ada pemikiran Murji’ah hendaklah membaca kitab-kitab berikut ini agar dia tidak berbicara kecuali dengan ilmu dan bukti yang nyata : Al-Ajwibah Al-Mutalaaimah Ala Fatwal Lajnah Ad-Daimah, At-Ta’rif Wat Tanbi’ah, At-Tanbihaat Al-Mutawaaimah, Al-Hujjah Al-Qoimah Ala Fatwal Lajnah Ad-Daimah, Ar-Roddul Burhani, Kalimatun Sawaa dan lain-lain.

Diantara yang beliau ucapkan dalam menanggapi fatwa Lajnah Daimah adalah : “Oleh karena ucapan ulama meski tinggi derajat dan kedudukannya, bisa diterima dan bisa di tolak serta kemungkinan bisa salah bisa benar, maka saya ingin menulis sebuah dialog ilmiah yang ringkas untuk menjawab fatwa lajnah yang terhormat. Semoga apa yang akan saya sampaikan ini dari hujjah-hujjah dan dalil-dalil menjadi penjelas bagi jalan kebenaran. Semoga rahmat Allah bagi Imam Abdurrohman bin Hasan bin Muhammad bin Abdul Wahab yang telah berkata : “Wajib bagi orang yang masih mengasihi dirinya, apabila membaca kitab-kitab para ulama dan melihat isinya serta mengetahui ucapan mereka agar dia menimbangnya dengan Al-Qur’an dan Sunnah. Karena setiap mujtahid dari kalangan para ulama dan yang mengikuti mereka serta yang menisbatkan diri kepada mereka haruslah menyebutkan dalilnya. Kebenaran hanya satu dalam setiap permasalahan dan para imam-iman itu diberi pahala akan ijtihad mereka. Orang yang bijak ketika membaca ucapan mereka dan mempelajarinya, dia menjadikannya sebagai jalan untuk mengetahui permasalahan dan untuk mengetahui yang benar dan salah dengan melihat dalil-dalilnya…” Dari sinilah saya ingin memulai jawaban saya dengan penuh hormat terhadap para masyayyikh yang mulia dan semoga ucapanku dan dialog ini –insya Allah- sesuai dengan apa yang ada dalam hati kami dari penghormatan terhadap mereka…” [1]

Terlebih lagi fatwa tersebut tidak disepakati oleh seorang alim rabbani faqiihul ummah yang juga anggota kibarul ulama serta anggota Lajnah Daimah yaitu Fadhilatusy Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullah. Inilah pendapat beliau tentang fawa tersebut : “Ini adalah suatu kesalahan dari Lajnah dan aku merasa terganggu dengan adanya fatwa ini. Fatwa ini telah memecah-belah kaum muslimin diseluruh negeri sampai-sampai mereka menghubungiku baik dari Amerika maupun Eropa. Tidak ada yang dapat mengambil manfaat dari fatwa ini melainkan takfiriyun (tukang mengkafirkan) dan tsauriyun (para pemberontak)”. Beliau juga berkata : “Saya tidak suka keluarnya fatwa ini, karena membuat bingung manusia. Dan nasehatku kepada para penuntut ilmu agar tidak terlalu berpegang teguh dengan fatwa fulan atau fulan”. [2]

Dan renungkanlah –wahai sauadaraku- ucapan emas dari seorang ahlu ushul serta imam dan khotib Masjidil Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam, Fadhilatusy Syaikh Husein bin Abdul Aziz Alu Syaikh –hafidzahullahu-. Beliau pernah ditanya : Fadhilatusy Syaikh –jazakumullahu khairan- : Apa pendapat anda tentang fatwa yang dikeluarkan oleh Lajnah Da’imah seputar dua kitab Syaikh Ali bin Hasan –hafidzahullahu- (At-Tahdzir) dan (Shoihatu Nadzir), bahwa kedua kitab tersebut menyeru kepada pemikiran Murji’ah bahwasanya amal bukan syarat sahnya iman, padahal kedua kitab tersebut tidak membahas sama sekali tentang syarat sah atau syarat sempurna?!”

Beliau menjawab.
Pertama-tama : Wahai saudaraku ! Syaikh Ali dan Masyayikh diatas manhaj yang satu. Dan Syaikh Ali, beliau adalah saudara besar seperti para masyayikh yang mengeluarkan fatwa tersebut. Beliau mengenal baik mereka dan mereka juga mengenal baik beliau. Mereka saling mencintai (karena Allah,-pent).

Syaikh Ali telah diberi oleh Allah ilmu dan pengetahuan –wal lillahil hamdu- yang akan dapat mengobati perkara ilmiah antara beliau dan Masyayikh. Dan perkara ini –alhamdulillah- masih ditengah perjalanan menuju titik terang kebenaran.

Adapun Syaikh Ali dan guru beliau Syaikh Al-Albani dan yang diatas manhaj sunnah tidak diragukan lagi –wal lillahil hamdu- berada diatas manhaj yang diridhoi. Dan Syaikh Ali sendiri –wal lillahil hamdu- termasuk yang membela manhaj ahli sunnah wal jama’ah.

Fatwa Lajnah tidaklah memvonis Syaikh Ali sebagai Murji’ah dan ini tidak mungkin dilakukan oleh Lajnah!! Lajnah hanya berbeda pendapat dan berdialog dengan Syaikh Ali. Adapun orang lain yang menginginkan dari munculnya fatwa ini untuk memvonis Syaih sebagai Murji’ah maka aku tidak paham (apa maksud mereka). Dan saya kira saudara-saudaraku tidak memahaminya seperti itu. Mereka para Masyayikh sangat menghormati dan menghargai beliau.

Dan Syaikh Ali telah menjawab dengan jawaban ilmiah dalam kitab “Al-Ajwibah Al-Mutalaaimah Alal Fatwal Lajnah Daimah” sebagaimana yang dialkukan oleh Salafush Shalih. Tidaklah ada diantara kita seorang pun melainkan bisa diambil ucapannya atau ditolak kecuali Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam seperti yang dikatakan oleh Imam Malik rahimahullah.

“Semua ucapan kadang bisa diterima dan terkadang bisa di tolak kecuali Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam”

Demikianlah keadaan umat ini, terkadang ditolak dan terkadang diterima ucapannya. Akan tetapi manusia secara tabiatnya terkadang saat pembicaraan atau dialog terdapat sedikit nada keras sampai para sahabat Radhiyallahu anhum juga demikian, seperti yang terjadi antara Abu Bakar dan Umar dan selain mereka dari kalangan sahabat.

Kesimpulannya bahwa fatwa ini menurutku tidak memvonis dan tidak menghukumi Syaikh Ali Murji’ah, akan tetapi fatwa tersebut hanyalah suatu dialog seputar buku beliau. Dan Syaikh Ali –semoga Allah selalu memberinya taufiq- ketika menulis ‘Al-Ajwibah Al-Mutalaaimah” setelah munculnya fatwa tersebut bukan untuk membantah tapi hanya sekedar menjelaskan manhaj beliau dan guru beliau Syaikh Al-Albani rahimahullah.

Kami yakin dengan seyakin-yakinnya bahwa Syaikh Ali dan guru beliau Syaikh Al-Albani rahimahullah sangat amat jauh sekali dari pemikiran Murji’ah seperti yang telah aku katakan dahulu.

Syaikh Ali misalnya kalau aku Tanya tentang apa itu iman? Demikian juga dengan Syaikh Al-Albani, maka tidaklah kami dapatkan sedikitpun dari ucapan mereka yang berbau Murji’ah yaitu bahwasanya amal bukan termasuk bagian dari iman. Bahkan ucapan-ucapan Syaikh Al-Albani rahimahullah jelas-jelas menyatakan bahwa iman adalah keyakinan dalam hati ucapan dalam lisan dan perbuatan anggota badan, bertambah dengan ketaatan dan berkurang dengan kemaksiatan.

Saya kira Syaikh Ali menyetujuiku dalam hal ini yaitu bahwasanya fatwa Lajnah bukan seperti yang didengungkan oleh sebagian orang bahwa Syaikh Ali itu Murji’ah. Sekali-kali tidak, mereka para masayayikh tidak mengucapkan seperti ini. Mereka hanya berdialog seputar kitab tersebut. Dan tidaklah para salaf dahulu berdialog kecuali karena rasa kasih sayang dan kecintaan mereka terhadap sunnah dan untuk membela sunnah. Terlebih lagi dialog tersebut bukan tentang keseluruhan kitab akan tetapi bagian kecilnya saja.

Samahatusy Syaikh Abdul Aziz Alu Syaikh mufti Kerajaan Saudi Arabia termasuk orang yang amat cinta terhadap Syaikh Ali dan aku tahu benar akan hal ini. Beliau sangat amat menghormati dan selalu mendoakan Syaikh Ali sampai setelah Syaikh Ali berjumpa dengan beliau, Samahatusy Syaikh tetap seperti itu.

Beliau juga amat menghormati dan mencintai Syaikh Al-Albani rahimahullah dari dahulu kala. Aku mengetahui hal ini semenjak Samahatusy Syaikh mengajar di kuliah Syari’ah tahun 1408H, beliau selalu menyebut nama Syaikh dengan pujian dan do’a.

Syaikh Al-Albani dan para masyayikh di Saudi Arabia dipersatukan oleh satu hal yaitu manhaj Salafush Shalih. Seandainya kita bersatu diatas hawa nafsu maka sungguh kita akan berpecah belah. Akan tetapi inilah perwujudan kasih sayang yang benar dan jujur.

Adapun kalau ada oran ketiga yang mengambil fatwa Lajnah Daimah ini dan bergembira ria karena sesuai dengan hawa nafsu mereka, tapi mereka meninggalkan yang tidak sesuai dengan mereka maka inilah jalannya ahli bid’ah” [3]

Demikian pula dengan Syaikh Kholid bin Ali bin Muhammad Al-Anbari –hafidzahullahu- yang juga tertimpa musibah dengan datangnya fatwa Lajnah yang mencekal buku beliau “ Al-Hukmu Bighoiri Maa Anzalallahu”. Padahal beliau termasuk masyayikh dakwah Salafiyah yang gigih memperjuangkan aqidah ahli sunnah sekaligus memerangi bid’ah serta hizbiyah dan amat jauh dari Murji’ah. Terlebih kitab beliau tersebut telah mendapat pujian dari para ulama semisal Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani rahimahullah, Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin dan Syaikh Dr Shalih bin Ghonim As-Sadlan Dosen Pasca Sarjana di Universitas Islam Imam Muhammad bin Su’ud.

Adapun pujian Syaikh Al-Albani rahimahullahu, maka beliau mengatakan : “Saudara Kholid bin Ali Al-Anbari telah menghadiahkan kepadaku kitab karangannya “Al-Hukmu Bighoiri Maa Anzalallahu..” dan aku mendapati kitab tersebut telah memenuhi temanya yang tidak butuh lagi tambahan penjelasan” [4]

Syaikh Shalih bin Ghonim As-Sadlan –hafidzahullahu- berkata : “Aku mendapatkan kitab Syaikh Kholid bin Ali bin Muhammad Al-Anbari Al-Hukmu Bighoiri Maa Anzalallahu…. Telah menepati judulnya dalam berpegang teguh dengan metode kenabian serta jalannya Shalafush Shalih dalam segala permasalahannya. Semoga Allah menganugrahkan kepada beliau pahala akan apa yang telah beliau bahas dan teliti. Dan semoga Allah memberikan manfaat lewat kitab beliau ini kaum muslimin baik para ulama, cendekiawan, masyayikh, penuntut ilmu, para da’i maupun masyarakat umum.

Beliau memulai kitabnya ini dengan menjelaskan macam-macam kufur akbar yang mengeluarkan dari Islam : kufur takdzib, juhud, inad, I’rodh, syak dan nifak. Dan bahwasanya kekufuran itu bisa dari keyakinan, ucapan, maupun amal perbuatan. Beliau juga menyinggung tentang kekufuran menurut Murji’ah yang menyempitkan pada kufur takdzib dalam hati saja. “Beliau juga berkata : (Kitab ini) ditulis dengan metode ilmiah yang kokoh, tidak ada caci maki maupun celaan buruk. Kitab ini amat sepesial dalam pembahasannya. Dan pengarang dalam masalah perincian hukum orang yang tidak berhukum dengan hukum Allah telah sesuai pendapatnya dengan pendapat Samahatul Walid Mufti Mamlakah Saudi Arabia Syaikh Abdul Aziz bin Abdillah bin Baz. [5], Fadhilatusy Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin serta Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani”.

Fatwa Lajnah ini pun juga di tentang dan disalahkan oleh Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin seperti yang telah berlalu diatas dan bahwasanya tidak ada yang dapat mengambil manfaat dari fatwa ini melainkan takfiriyin dan tsauriyin. Begitu juga dengan Syaikh Shalih As-Sadlan yang tidak bisa menerima fatwa tersebut. [6]

Syaikh Kholid pun menanggapi fatwa ini dengan menulis sebuah makalah yang berjudul “ Al-Maqoolaat Al-Anbariyah Fi Tahkiimil Qowaaniin Al-Wadh’iyah”, diantaranya beliau mengatakan : “Tidak tersembunyi lagi bagi anda sekalian bahwa mewajibkan, mengharamkan hanyalah hak Allah dan Rasul-Nya sebagaimana yang telah dikatakan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullahu. Oleh karenanya, saya memohon kepada anda sekalian untuk menjelaskan hujjah-hujjah syar’i mengenai keputusan Lanjah yang terhormat yang melarang dicetaknya kembali kitab (Al-Hukmu) yang telah terbit sejak lima tahun yang lalu…”

Maka disini penulis menasehatkan kepada siapa saja yang telah termakan isu atau syubhat bahwa buku Syaikh Kholid ini berada di atas manhaj Murji’ah agar dia membaca sendiri buku tersebut [7] dan meneliti manakah pemikiran Murji’ah yang dituduhkan itu !!! Demikian pula yang menuduh Syaikh Kholid Murji’ah agar dia membaca karangan Syaikh Kholid yang berjudul Murji’atul Ashr (Murji’ah abad ini). Buktikan apakah beliau Murji’ah atau malah sebaliknya membantah Murji’ah!!!

Jika demikian ini keadaannya, masihkah kita berani menuduh Dakwah Salafiyah sebagai Murji’ah atau Jahmiyah ?!

“Dan peliharalah dirimu dari (azab yang terjadi pada) hari yang pada waktu itu kamu semua dikembalikan kepada Allah. Kemudian masing-masing diri diberi balasan yang sempurna terhadap apa yang telah dikerjakannya, sedang mereka sedikitpun tidak dianiaya (dirugikan)” [Al-Baqarah/2 : 281]

“Sesungguhnya Tuhanmu benar-benar mengawasi” [Al-Fajr/89 : 14]

Begitu jelasnya bukti-bukti akan jauhnya Syaikh Al-Albani, Syaikh Ali Al-Halabi dan Syaikh Kholid Al-Anbari dari Murji’ah, namun masih ada saja orang yang buta akan hal ini.

Kebenaran bak matahari dan mata-mata ini yang melihatnya
Akan tetapi matahari itu tersembunyi bagi si buta
Kejelekan pemahamanmu membuatmu tuli dari ucapanku
Dan kesesatan membuat dirimu buta dari petunjukku.

Sebagai penutup, simak dan renungkan ucapan berharga dari seorang doktor spesialis kelompok-kelompok sempalan Syaikh Dr Nashir bin Abdul Karim Al-Aql –hafidzahullahu- : “Tidak semua orang dituduh Murji’ah dia benar Murji’ah. Terlebih di zaman ini, karena tukang-tukang pengkafiran dan orang-orang ekstrim dari kalangan Khawarij atau yang seperti mereka yang bodoh akan kaidah-kaidah Salaf tentang vonis, menuduh orang yang menyelisihi mereka dari kalangan ulama maupun penuntut ilmu dengan Murji’ah. Dan kebanyakan yang di gembar-gemborkan mereka adalah masalah berhukum dengan selain hukum Allah dan masalah wala’ serta baro’.

Dan terkadang sebagian yang menisbatkan dirinya kepada ilmu dan sunnah ikut andil dalam menuduh tanpa adanya kehati-hatian. Bahkan sebagian penuntut ilmu yang sudah tinggi keilmuannya ketika menulis masalah takfir pada zaman ini menuduh orang yang menyelisihinya dalam masalah yang juga diperselisihkan oleh Salaf dengan tuduhan Murji’ah. Padahal permasalahannya jika diteliti kembali tidak termasuk prinsip Murji’ah” [7]

(Disunting dari artikel Dakwah Salafiyah Bukan Murji’ah)

[Disain dari majalah Adz-Dzakhiirah Al-Islamiyyah Edisi 21 Th.IV. Rajab 1427H – Agustus 2006M. Penerbit Ma’had Ali Al-Irsyad As-Salafy Surabaya, Alamat Redaksi Jl. Sidotopo Kidul No. 51 Surabaya, Telp. 031-37311969]
_______
Footnote
[1]. Al-Ajwibah Al-Mutalaaimah ‘Alal Fatwa Lajnah Daimah, hal.4 oleh Syaikh Ali bin Hasan Al-Halabi.
[2]. At-Ta’rif Wat Tanbihat hal.15
[3]. Ar-Roddul Burhani, hal. 256-259
[4]. Muqoddimah Al-Hukmu Bighoiri Maa Anzalallahu, hal. 9
[5]. Syaikh Kholid berkata : “Menceritakan kepadaku orang yang terpercaya bahwa para takfiriyin mencoba untuk membujuk Syaikh Bin Baz agar mencekal kitab tersebut dan mereka berusaha untuk mejelek-jelekannya akan tetapi Syaikh membantah mereka hingga mereka pun gagal. Akan tetapi sepeninggal Syaikh rahimahullahu mereka berhasil (menjalankan makarnya)’
[6]. Al-Hukmu hal.16
[7]. Dan buku ini –Alhamdulillah- telah diterjemahkan dan diterbitkan dalam bahasa Indonesia dengan judul “Kafirkah orang yang berhukum dengan selain Allah?”.
[8]. Al-Qodariyah wal Murji’ah, hal. 121 oleh Dr Nashir Al-Aql


Artikel asli: https://almanhaj.or.id/2173-ada-apa-dengan-syaikh-ali-al-halabi-dan-syaikh-kholid-al-anbari-hafidzahumallahu.html